Medianers ~ Ini adalah kisah hidupku, dalam mengejar masa depan yang baik. Diawali setelah tamat SD tahun 1994, aku melanjutkan pendidikan di sebuah pesantren yang didirikan oleh seorang ulama, beliau bernama syekh H.Muchtar (Angku Lakuang).
Sekolah di pesantren adalah kehendak ayah, yang menginginkan aku jadi ulama seperti beliau. Ayahku adalah Syekh H.M.Nur, Datuak Patiah Bakuruang. Beliau seorang buya dan kepala adat suku chaniago di tanah minang. Beliau dulunya juga santri di pesantren yang didirikan oleh syekh H.Sulaiman Arrosuli di Bukit tinggi.
Aku memutuskan, mengikuti keinginan Ayah untuk belajar agama di pesantren, belajar nahu, sorof, kitab gundul,dll. Aku menjalani dan ditempa di pesantren itu selama 7 tahun, setara dengan tamat SLTA.
Awalnya kujalani dengan serius selama 3 tahun. 3 tahun itu, aku termasuk siswa yang berprestasi, bahkan rangking 5 besar, dan kujalani dengan baik. Namun, di tahun ke 4, saat usiaku 16 tahun dan masa pubertas, masa dimana aku sedang mencari jati diriku. Saat itu aku merasa, bukan di sinilah tempatku (pesantren) utk menggapai masa depan.
Namun aku takut untuk mengutarakan kepada ayah, padahal aku belum pernah melihat beliau marah. Tapi, entah kenapa aku tidak berani, mungkin kharisma beliau yang menciutkan nyaliku.
Akhirnya, kulalui tahun ke-4 itu dengan berhura-hura. Saat sedang berdua dengan beliau membahas tentang pelajaranku di pesantren, terbersit keinginan menyampaikan keinginanku, namun aku belum mempunyai keberanian yang cukup untuk itu.
Kucoba memancing, aku bilang banyak orang tua yang mempertanyakan masa depan anaknya, kalau disekolahkan di pesantren, dengan tersenyum beliau memberi pemahaman, "orang tua yang mempertanyakan itu adalah orang tua yang tidak tahu masa depan yang sebenarnya."
Aku hanya diam dan mengurungkan niat mngutarakan keinginan selanjutnya, namun hatiku selalu berontak dan berkata aku harus pindah dari pesantren itu.
Akhirnya di akhir tahun ke 4, aku beranikan diri mengungkapkan semuanya, dengan alasan masa depan. Ayahku terdiam, beliau tidak marah. Namun, terlihat wajah sedih di wajahnya. Setelah diam sesaat beliau berkata "nak masa depan seperti apa yang kau cari, ayah menyekolahkanmu di pesantren adalah untuk masa depanmu,karena memikirkan masa depanmu ayah sekolahkan kamu di pesantren, yakinlah nak." Ucapnya.
Aku tetap dalam pendirian, beliau hanya diam dan pergi meninggalkan. Masa pubertas, emosi yang labil tidak membuatku mengerti tentang masa depan yang ayah siapkan untukku.
Aku bilang kepada ibu, "Jika aku tidak diizinkan pindah ke sekolah umum aku memilih untuk tidak sekolah."
Esok harinya beliau memanggilku dan berkata "Ayah tidak akan memaksamu di pesantren. Ayah akan izinkan kamu pindah dimanapun sekolah yang kamu inginkan. Ayah akan antarkan."
Namun, wajah sedih beliau tetap terlihat. Tapi begitulah, aku yang saat itu tidak peduli dengan kesedihan beliau dan mengikuti darah muda. Beberapa hari setelah itu, aku memilih sekolah di MAN (Madrasah Aliah Negri), dengan pertimbangan agar ayah tidak terlalu sedih karena di MAN masih banyak pelajaran agama, walaupun tidak sebanyak di pesantren, ayahku lumayan senang dengan keputusan tersebut.
Singkat cerita ,akhirnya aku tamat di MAN 2 Payakumbuh pada tahun 2001, dan melanjutkan sekolah di Akademi Keperawatan (Akper) Perintis Bukit Tinggi dan tamat tahun 2004.
Dua bulan tamat aku bekerja di RSI IBNU SINA, pekan baru selama 6 tahun. Tahun 2011, aku lulus PNS dan bertugas di Instalsi Bedah Central RSUD dr ADNAAN WD , Payakumbuh.
Di kampung, aku merasa senang, merasa telah berhasil menata masa depan. Seiring waktu berjalan dan bertambahnya usia, hingga ini, aku telah 34 tahun. Terbesit di hati, kalau aku belum menyiapkan masa depan. Apa yang kuraih hari ini hanyalah masa depan dunia.
Kini, aku menyadari, bahwa hakikat dari masa depan yang sebenarnya, masa depan kita bukanlah di dunia, namun di akhirat. Aku menyadari, apa yang pernah ayah bilang tentang masa depan.
"Nak ! karena memikirkan masa depan aku menyekolahkanmu di pesantren." Itulah kata yang beliau ucapkan saat aku meminta untuk berhenti dari pesantren dengan alasan masa depan.
Teringat kata itu, dan melihat apa yang ku miliki tentang ilmu untuk masa depan yang hakiki, aku merasa sedih. Aku menyadari arti masa depan, dengan hati yang sedih, aku ceritakan pada ayah dan memohon maaf atas tindakanku 18 tahun nan lalu, yang membuat beliau sedih atas keputusanku.
Sambil tersenyum beliau berucap, "Nak janganlah bersedih, teruslah berjuang untuk meraih masa depan yang hakiki (akhirat), karena meraih masa depan yang hakiki itu, jangan pernah ada kata terlambat. Jangan pernah merasa puas, jangan pernah merasa pintar, jangan pernah merasa alim, jangan pernah merasa paling baik dan benar, teruslah belajar agama karena menuntut ilmu itu dari ayunan sampai ke liang lahat dan jangan lupakan pesan ayah.
"INGATLAH KEBAIKAN ORANG LAIN KEPADAMU DAN DO'AKANLAH MEREKA, LUPAKAN KEBAIKAN YANG TELAH KAMU PERBUAT UNTUK ORANG LAIN DAN INGATLAH SELALU KEJAHATAN YANG ENGKAU PERBUAT KEPADA ORANG LAIN. MINTA MAAFLAH KEPADANYA DAN MOHON AMPUNLAH KEPADA ALLAH, DAN LUPAKANLAH KEJAHATAN YANG DILAKUKAN ORANG TERHADAPMU NISCAYA HIDUPMU AKAN BAHAGIA. SEMOGA ALLAH MERAHMATI DAN MERIDHOIMU ANAKKU"
Syekh H.M.Nur, Datuak Patiah Bakuruang bersama istri. Orang tua Muhammad Idral. |
Ayah maafkan anakmu, yang telah salah kaprah memahami masa depan. Aku bangga memiliki ayah sepertimu. Bagiku, ayah adalah ayah terbaik di dunia ini. Semoga Allah memberikan kesehatan umur yang panjang dan berkah kepada ayah dan ibu. Do'a kan selalu anakmu . Wahai ayah dan ibu, semoga Allah selalu merahmati dan meridhoi kita semua amin ya rabbal 'alamin.(Penulis: Muhammad Idral)